Saat Jauh dari-Nya Lebih Menyakitkan dari Segalanya
Oleh: Ust. Budi Satriadi
Ada satu rasa yang tak bisa dipalsukan: kerinduan yang dalam. Ia muncul tanpa aba-aba, kadang tanpa sebab yang jelas, tapi terasa begitu nyata. Di tengah hiruk pikuk dunia yang gemerlap, tiba-tiba hati terasa sepi. Saat semua sudah diraih, tetap saja terasa ada yang kurang. Pernahkah Anda merasakannya ?
Itulah rindu paling purba dalam diri manusia: rindu kepada Allah.
Saya teringat sebuah syi’ir sufistik yang begitu mengguncang batin saya ketika pertama kali membacanya. Ia bukan sekadar bait-bait indah, tapi adalah jeritan hati dari seorang hamba yang sedang sakit karena merasa jauh dari Tuhannya.
أَمُوتُ بِدَائِي وَالدَّوَاءُ فِي يَدَيْكُمْ
أَحِبَّةَ قَلْبِي أَنْعِمُوا بِدَوَائِي
“Aku sekarat oleh penyakitku, padahal obatnya ada di tangan kalian, wahai kekasih hatiku, berikanlah obatku.”
Bukan demam, bukan luka fisik, melainkan penyakit hati: jauh dari Allah. Itulah penyakit paling menyakitkan bagi jiwa-jiwa yang pernah merasakan lezatnya kedekatan dengan-Nya.
Sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha: 124)
Orang yang jauh dari Allah, sesungguhnya sedang menempuh jalan paling sunyi, meski di tengah keramaian. Ia bagaikan meneguk air laut—semakin diminum, semakin haus. Karena rindu kepada Allah tidak bisa diobati dengan scrolling
media sosial, nongkrong, atau tumpukan materi.
Imam Al-Ghazali pernah mengatakan,
“Tidak ada kebahagiaan, kesenangan, dan kesempurnaan hidup kecuali dalam mengenal dan mencintai Allah.”
Dalam bait lainnya, penyair itu menyampaikan:
إِذَا كَانَ دَائِي أَصْلُهُ الْبُعْدُ عَنْكُمُ
فَإِنَّ دَوَائِي قُرْبُكُمْ وَشِفَائِي
“Jika penyakitku berasal dari jauhnya aku dari kalian, maka obatku adalah kedekatan dengan kalian, itulah penyembuhku.”

Kita semua pernah atau sedang mengalami momen ini: lalai dari ibadah, hati menjadi berat menyebut nama-Nya, dan hidup terasa hambar. Dalam bahasa sufistik, itu disebut “tertutup hijab”. Dinding antara kita dan Allah bukan karena Allah yang menjauh, tetapi karena kita sendiri yang menutupnya—dengan dosa, dengan lalai, dan dengan cinta dunia yang berlebihan.
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”
(QS. Al-Hasyr: 19)
Bait lain dari syi’ir tersebut berkata:
تَوَالَتْ كُرُوبِي مُذْ ضَرَبْتُمْ حِجَابَكُمْ
فَمَنْ لِي فِي حُزْنِي وَمَنْ لِي فِي بَلَائِي
“Kesedihanku terus berlanjut sejak Engkau menutup hijab-Mu. Siapa yang bisa menolongku dalam kesedihan dan ujian ini?”
Sungguh, betapa menderitanya jiwa ketika tidak merasakan nikmatnya berada dekat dengan Allah. Kita mungkin bisa menipu orang lain bahwa kita baik-baik saja, tapi kita tak bisa menipu hati sendiri yang sedang hampa dan kerontang.
Namun, kabar baiknya adalah: jalan kembali selalu terbuka. Allah tidak pernah menutup pintu-Nya bagi hamba yang ingin pulang.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah): sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku…”
(QS. Al-Baqarah: 186)
Syi’ir tersebut menutup dengan sebuah titik terang:
تَحَقَّقْتُ مَطْلُوبِي فَأَسْرَعْتُ نَحْوَهُ
فَدَامَ سُرُورِي وَأَضْمَحَلَّ عَنَائِي
“Saat aku menyadari siapa yang kucari, aku pun segera mendatanginya. Maka kebahagiaanku kekal dan penderitaanku sirna.”
Saat kita kembali mengingat bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan, saat itulah segala resah perlahan sirna. Hati kembali pulang. Jiwa kembali tenang. Rasa damai tidak lagi tergantung pada keadaan, tapi pada kedekatan.
Cobalah tanya ke dalam diri kita masing-masing:
📍 Kapan terakhir kali kita menangis karena merasa jauh dari Allah?
📍 Apakah kita lebih sibuk mengejar dunia daripada mengejar perjumpaan dengan-Nya?
📍 Apakah kita masih punya waktu khusus bersama Allah setiap hari?
Bila jawabannya membuat kita meringis, jangan panik. Tapi bangkitlah. Selama nafas masih ada, jalan pulang masih terbuka lebar.
Mulailah dengan hal-hal kecil tapi istiqamah:
Jaga wudhu dan shalat tepat waktu.
Sempatkan dzikir pagi dan petang.
Sisihkan 10 menit setiap hari untuk curhat hanya kepada Allah.
Kurangi kebisingan dunia dan buka ruang untuk keheningan ruhani.
Penutup: Obat Jiwa yang Sesungguhnya
Sungguh, tidak ada kebahagiaan yang lebih abadi daripada berada dalam kedekatan dengan-Nya. Dunia ini fana. Kesibukan bisa memabukkan. Tapi bila hati telah terpaut kepada Allah, maka segalanya terasa cukup.
“Jika Engkau hadir dalam hidupku, maka semua terasa ada. Tapi jika Engkau tak kuhiraukan, maka semua yang kumiliki menjadi sia-sia.”
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang senantiasa merindukan Allah, dan dirindukan-Nya. Aamiin.