“Keberanian Iman di Tengah Badai Normalisasi Kemungkaran”
📖 Penjelasan Makna Kontekstual Fasal
Fasal ini mengandung tiga pilar penting dalam sikap seorang mukmin terhadap maksiat dan pelakunya:
Imam al-Ḥaddād menyatakan bahwa kebencian terhadap dosa dan pelaku dosa (yang terus-menerus melakukannya tanpa tobat) adalah bagian dari iman. Namun, kebencian ini harus karena Allah, bukan karena hawa nafsu atau benci pribadi.
“الْحُبُّ فِي اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ مِنْ أَوْثَقِ عُرَى الْإِيمَانِ”
Cinta karena Allah dan benci karena Allah adalah ikatan terkuat dari iman.
(HR. Abu Dawud)
Namun, kebencian ini bukan berarti menebar permusuhan, tapi bentuk loyalitas iman terhadap nilai kebenaran dan penjagaan hati agar tidak berkompromi dengan maksiat.
Imam al-Ḥaddād menegur kita secara halus namun tajam:
“Kalau engkau lebih marah saat dirimu dihina daripada saat melihat kemungkaran, maka itu tanda imanmu lemah.”
Poin ini mendidik kita untuk mengukur kadar cinta kita kepada agama, dan mengasah kepekaan spiritual terhadap kerusakan moral, bukan hanya kepekaan terhadap nama baik atau harta benda pribadi.
Imam Al-Ghazali berkata: “Seorang mukmin sejati adalah yang paling cepat murka ketika agama Allah dilecehkan, bukan ketika dirinya dihina.”
(Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Jilid II)
Tidak semua kemungkaran bisa serta merta kita tegur. Jika:
…maka diam menjadi pilihan yang lebih utama, bahkan bisa menjadi kewajiban.
Tetapi:
Imam Ibn Rajab al-Hanbali berkata: “المداهنة ترك الحق لأجل الدنيا، والمداراة بذل الدنيا لأجل الحق.”
Mudāhanah adalah meninggalkan kebenaran demi dunia, sedangkan mudārāh adalah menggunakan dunia demi kebenaran.
(Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam)
🔍 Relevansi dengan Kehidupan Zaman Now
💬 1. Budaya “Toleransi Toxic” di Era Media Sosial
Banyak orang menganggap bahwa menegur kemungkaran adalah bentuk intoleransi. Namun diam terhadap dosa yang terbuka—atas nama menjaga perasaan—bisa menjadi bentuk mudāhanah. Kita harus belajar menyeimbangkan antara keberanian menyuarakan kebenaran dengan kebijaksanaan sosial.
Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fi al-Islām menyatakan:
“Islam bukan hanya agama toleransi, tapi juga agama tanggung jawab sosial. Menyaksikan kemungkaran tanpa respon adalah bentuk pembiaran terhadap kerusakan.”
🛡 2. Aktivisme Sosial: Pilih Pertempuranmu
Tidak semua kemungkaran harus langsung ditegur di tempat. Kita harus:
Dalam al-Adab al-Syar‘iyyah, Ibn Muflih menyebut:
“Kadang mendiamkan kemungkaran adalah cara paling strategis menegurnya, jika situasi belum memungkinkan.”
😶🌫️ 3. Silent Complicity di Lingkungan Kerja atau Sekolah
Banyak pemuda Muslim mengalami dilema: melihat kebiasaan buruk di sekitarnya (korupsi, seks bebas, miras, dll.), tapi tak berani bersuara. Di sinilah kita diuji: apakah diam karena bijak atau karena takut kehilangan jabatan, cuan, atau gengsi?
Kalau diam karena takut kehilangan peluang dunia, maka itu bukan hikmah, tapi mudāhanah.
🪶 Kesimpulan dan Renungan
Dalam dunia yang semakin abu-abu ini, fasal ini memandu kita untuk:
✨ “Bila dunia menormalisasi dosa, maka iman menuntut keberanian untuk tetap waras dan teguh.”
فَصْلٌ:
🔹 Fasal: Etika Menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
وَعَلَيْكَ إِذَا أَمَرْتَ أَوْ نَهَيْتَ بِالْإِخْلَاصِ لِلَّهِ تَعَالَى، وَالرِّفْقِ وَحُسْنِ السِّيَاسَةِ وَإِظْهَارِ الشَّفَقَةِ، فَمَا اجْتَمَعَتْ هٰذِهِ الْخِصَالُ فِي عَبْدٍ مَعَ كَوْنِهِ عَامِلًا بِمَا أَمَرَ بِهِ مُجْتَنِبًا لِمَا نُهِيَ عَنْهُ إِلَّا كَانَ لِكَلَامِهِ صَوْلَةٌ فِي الصُّدُورِ، وَمَوْقِعٌ فِي الْقُلُوبِ، وَحَلَاوَةٌ فِي الْأَسْمَاعِ، وَقَلَّ أَنْ يُرَدَّ عَلَيْهِ مَعَ هٰذَا كُلِّهِ.
Hendaknya engkau, ketika memerintah (kepada kebaikan) atau melarang (dari kemungkaran), melakukannya dengan ikhlas karena Allah Ta‘ālā, dengan lemah lembut, kebijaksanaan yang baik, dan menampakkan kasih sayang.
Sebab, apabila sifat-sifat ini terkumpul dalam diri seseorang—sementara ia sendiri juga mengamalkan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang—maka ucapannya akan memiliki pengaruh yang kuat dalam dada, bekas dalam hati, kemanisan di telinga, dan jarang sekali ditolak oleh orang lain.
وَكُلُّ مَنْ تَحَقَّقَ بِمُرَاقَبَةِ اللَّهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، وَتَخَلَّقَ بِالرَّحْمَةِ عَلَى عِبَادِهِ، لَمْ يَقْدِرْ أَنْ يَمْلِكَ نَفْسَهُ عِنْدَ مُشَاهَدَةِ الْمُنْكَرِ حَتَّى يُزِيلَهُ أَوْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ذٰلِكَ بِمَا لَا قُدْرَةَ عَلَى دَفْعِهِ.
Dan siapa pun yang benar-benar merasa diawasi oleh Allah, bertawakkal kepada-Nya, dan berakhlak dengan kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, maka ia tak akan mampu menahan dirinya ketika menyaksikan kemungkaran, hingga ia menghilangkannya atau menghalanginya dengan sesuatu yang tak mampu ia cegah.
وَإِيَّاكَ وَالتَّجَسُّسَ، وَهُوَ طَلَبُ الْوُقُوفِ عَلَى عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَمَعَاصِيهِمُ الْمَسْتُورَةِ.
قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: ›› مَن تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ فِي جَوْفِ بَيْتِهِ‹‹.
Dan hati-hatilah engkau dari tajassus (memata-matai), yakni mencari-cari aib dan dosa kaum Muslimin yang tersembunyi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa mencari-cari aib saudaranya sesama Muslim, niscaya Allah akan mencari-cari aibnya hingga Dia mempermalukannya di tengah rumahnya sendiri.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad)
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَعْصِيَةَ إِذَا سُتِرَتْ لَمْ تَضُرَّ إِلَّا مُرْتَكِبَهَا، فَإِذَا ظَهَرَتْ وَلَمْ تُغَيَّرْ عَمَّ ضَرَرُهَا.
Ketahuilah bahwa dosa jika tertutupi, maka dampaknya hanya pada pelakunya saja. Tetapi jika dosa itu terbuka dan tidak dicegah, maka bahayanya menyebar kepada semua.
وَعَلَيْكَ إِذَا تَفَاحَشَ ظُهُورُ الْمَعَاصِي وَالْمُنْكَرَاتِ فِي مَوْضِعٍ أَنْتَ بِهِ وَأَيِسْتَ مِنْ قَبُولِ الْحَقِّ بِالْعُزْلَةِ، فَإِنَّ فِيهَا السَّلَامَةَ، أَوْ بِالْهِجْرَةِ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ، وَهِيَ أَوْلَى.
فَإِنَّ الْعَذَابَ إِذَا نَزَلَ عَلَى مَوْضِعٍ عَمَّ الْخَبِيثَ وَالطَّيِّبَ، وَيَكُونُ لِلْمُؤْمِنِ الَّذِي لَمْ يُقَصِّرْ فِي نُصْرَةِ دِينِ اللهِ كَفَّارَةً وَرَحْمَةً، وَلِغَيْرِهِ عِقَابًا وَنِقْمَةً. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Jika maksiat dan kemungkaran telah menyebar secara terang-terangan di tempat engkau berada, dan engkau sudah putus asa terhadap penerimaan kebenaran, maka mengasingkan diri (uzlah) adalah jalan keselamatan. Atau, jika memungkinkan, berhijrahlah ke tempat lain, dan ini lebih utama.
Sebab, jika azab turun pada suatu tempat, maka ia mengenai baik yang jahat maupun yang saleh. Namun bagi seorang mukmin yang tidak lalai dalam membela agama Allah, maka azab itu menjadi penebus dosa dan rahmat, sedangkan bagi selainnya, ia menjadi hukuman dan siksa.
Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.