“Menyeru dengan Cinta: Ketika Amar Ma’ruf Menjadi Jalan Rahmat, Bukan Murka”
🧭 Makna Kontekstual Fasal
Amar ma’ruf nahi munkar adalah seni membimbing jiwa—bukan ajang memenangkan emosi. Ia memerlukan empat pilar utama: keikhlasan (ikhlas), kelembutan (rifq), kebijaksanaan (ḥikmah), dan kasih sayang (raḥmah). Tanpa itu semua, nasihat menjadi kosong, bahkan bisa berubah menjadi senjata yang melukai.
Imam al-Haddād, dalam Risālat al-Mu‘āwanah, menekankan bahwa siapa pun yang ingin menyeru kebaikan harus:
Dan lawannya? Tajassus—mencari-cari kesalahan untuk diekspos. Ini bukan dakwah, melainkan ghadar (pengkhianatan terhadap rahasia umat). Ia membunuh kepercayaan sosial, dan melahirkan masyarakat penghakim yang gelisah, bukan masyarakat penyayang yang membimbing.
🔍 Relevansi Zaman Digital: Budaya “Expose and Cancel”
Di era digital, kecepatan jempol mengalahkan kedalaman hati. Banyak yang mengira sedang “menjalankan amar ma’ruf” padahal sekadar mengekspresikan kemarahan pribadi lewat layar—mengumbar aib, membuka borok, dan menyeret nama seseorang ke “pengadilan publik” yang kejam.
Cancel culture bukanlah metode dakwah. Ia adalah kemarahan massal yang tidak terkontrol, yang membungkus niat baik dengan cara yang buruk. Lebih tragis lagi, ketika seseorang yang jatuh, malah diinjak—bukan ditolong bangkit.
Imam al-Ghazālī mengingatkan dalam Iḥyāʾ ‘Ulūm al-Dīn:
“Bukan semua yang dianggap kemungkaran harus langsung dikecam. Sebab, kemungkaran yang ditegur dengan cara yang salah bisa menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”
(Iḥyāʾ, Jilid 2)
Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam Min Adabi al-Islām juga memperingatkan:
“Lidah yang tajam dalam berdakwah seringkali menumpahkan darah batin yang belum tentu bisa disembuhkan oleh seribu nasihat.”
🧠 Dakwah Tanpa Adab = Kerusakan Sosial Baru
Rasulullah ﷺ bukan sekadar pemberi hukum, beliau adalah penawar luka jiwa. Saat seorang Badui kencing di masjid, para sahabat marah, tapi Rasulullah ﷺ bersikap tenang. Beliau biarkan ia selesai, lalu menasihatinya dengan kelembutan.
Pelajaran besar: menyentuh hati lebih penting daripada memenangkan argumen.
Ulama kontemporer seperti Syekh Ali Jum ‘ah berkata:
“Dakwah yang tidak dilandasi rahmat, berarti bukan warisan Rasulullah ﷺ, tapi warisan hawa nafsu.”
Dan Dr. Yasir Qadhi menegaskan:
“Calling out sin is easy. But calling people back to Allah with mercy, wisdom, and persistence is the true jihad of the heart.”
🔄 Dari “Expose and Cancel” ke “Guide and Embrace”
Perbaikan sejati lahir dari pendekatan yang lembut dan sabar. Amar ma’ruf nahi munkar bukan “panggung keadilan sosial” yang menyudutkan seseorang di hadapan jutaan penonton digital, melainkan panggilan sunyi menuju perubahan, disampaikan dengan kasih dan harapan.
💡 Ingatlah:
“Menutupi dosa orang lain bukan berarti membenarkannya. Tapi mengarahkannya dalam kesunyian jauh lebih mulia daripada mempermalukannya di keramaian.”
✨ Refleksi & Aksi Nyata untuk Para Dai dan Aktivis Digital
🔹 Tanya hati sebelum bicara: Apakah ini untuk Allah atau hanya pelampiasan ego?
🔹 Bicara dengan empati, bukan ironi.
🔹 Jadikan dakwah ruang penyembuhan, bukan sidang terbuka.
🔹 Bangun budaya “menyapa dan merangkul”, bukan “mengekspos dan membatalkan”.
📜 Kutipan Hadis Penutup
“Ad-dīn al-naṣīḥah (Agama adalah nasihat).”
Kami bertanya: “Untuk siapa?”
Beliau bersabda:
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan umat Islam seluruhnya.”
(HR. Muslim no. 55)
🏁 Kesimpulan Reflektif
Amar ma’ruf nahi munkar bukan soal siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling tulus dan cerdas. Di tengah gempuran narasi penuh kebencian, kita memerlukan narasi penyembuhan.
Menjadi lembut di tengah kerasnya dunia bukan kelemahan, tapi kekuatan dakwah yang sejati.
✊ Seruan untuk Aktivisme Beradab
Dunia sudah penuh caci, saatnya kita hadir dengan cinta. Jadilah aktivis kebaikan yang membangun, bukan membakar. Yang memeluk, bukan menyikut. Yang membina, bukan menghukum.
Jika dunia sibuk dengan “expose and cancel”, maka kita sibuklah dengan “invite and heal”.